PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SMP NEGERI 24 MALANG

PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SMP NEGERI 24 MALANG

(Penelitian Pendidikan Tahun 2014)

ABSTRAKSI

MUHAMMAD MUNAJAD, S.Pd.

Guru IPS SMPN 24 MALANG

Ada pandangan  bahwa keberhasilan proses pendidikan ditentukan oleh seberapa jenius otak setiap anak didik. Semakin ia jenius maka semakin sukses. Semakin ia meraih predikat juara kelas berturut-turut, maka semakin sukseslah ia. Padahal, realitas membuktikan, banyak anak didik yang sukses justru tidak mendapatkan prestasi gemilang di sekolahnya. Sebab kesuksesan tidak hanya terkait dengan kecerdasan otak saja. Akan tetapi, kesuksesan ternyata lebih dominan ditentukan oleh kecakapan membangun hubungan dengan Tuhan, diri sendiri, dan orang lain.Kecakapan membangun hubungan dengan tiga pilar tersebut merupakan karakter-karakter yang dimiliki orang-orang sukses. Hal ini memberikan penyadaran kepada kita akan pentingnya pendidikan karakter sejak dini.

Penerapan pendidikan karakter secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas secara emosinya. Kecerdasan emosional ini akan menjadi bekal penting dalam mempersipkan anak menyogsong masa depan, karena seorang anak akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

Faktor pencerdasan emosi seorang anak bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerjasama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati,  dan kemampuan berkomunikasi. Oleh karena itu pemberian pendidikan karakter tidak cukup dengan memberikan pengetahuan semata, melainkan juga menetapkan aturan dan konsekuensi di lingkungan sekolah. Dalam peraturan sekolah misalnya, peserta didik yang tidak membawa buku pelajaran maka konsekuensinya mendapatkan tugas tambahan, serta dikomunikasikan kepada semua pihak termasuk orang tua.

Yang  perlu dipahami proses penanaman karakter terhadap anak didik  membutuhkan keteladan dari semua pihak. Kepala sekolah harus menjadi teladan bagi guru-guru di sekolah. Kepala sekolah tidak Cuma mengumbar kata kata disiplin dalam raapat guru, tetapi ia harus memiliki kedisiplinan yang tinggi. Begitu juga dengan guru-guru jangan hanya menceramahi anak didik agar datang tepat waktu , tetapi gurupun tidak boleh datang terlambat ke kelas. Harus dimaklumi, bukan tidak memiliki orang pintar, justru jumlahnya tak terhitung. Namun bangsa ini tampak kekuarangan orang yang bisa diteladani.

Sekolah yang merupakan salah satu instrumen penanaman nilai nilai kebajikan sudah seharusnya mencerminkan suasana keteladanan. Terutama bagi para guru, hendaknya mereka menjaga sikap dan prilakunya dihadapan anak anak didiknya. Jangan sampai terdengar lagi guru kencing berdiri murid kencing berlari. Oleh karena itu untuk keberhasilan pendidkan karakter perlu dan harus disandingkan pendidikan karakter dan keteladanan.(Konsep dan Model Pendidikan karakter; Muchlas Samani dan hariyanto , Remaja Rosdakarya, bandung 2011).

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

 

          Tidak terbantahkan  lagi bahwa bangsa Indonesia tidak pernah berhenti dalam menyelenggarakan program pendidikan dalam keadaan bagaimanapun juga. Namun hingga saat ini keadaan bangsa kita masih mengalami kondisi yang yang tidak kondusif. Bahkan berkembangnya perilaku baru yang sebelum era global tidak banyak muncul, kini cenderung berkembang meluas, seperti ;

1.    meningkatnya kekerasan di kalangan masyarakat

2.    Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk- cenderung tidak menggunakan kata baku,

3.    Pengaruh peer-group (geng) yang kuat dalam tindak kekerasan.

4.    Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas.

5.    Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk.

6.    Menurunnya etos kerja.

7.    Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru.

8.    Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara

9.    Membudaya-nya ketidakjujuran.

10.     Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama
Berikut ini juga merupakan  fenomena yang tidak dapat dipungkiri, yakni:

1.    Masa balita, pendidikan dan pengasuhan balita diserahkan kepada pembantu yang notabene kurang memiliki cukup kemampuan sebagai pendidik.

2.    Masa remaja, pembinaan remaja di luar rumah atau kelas diserahkan kepada masyarakat, yang ternyata kondisinya tidak kondusif bagi pengembangan karakter.

3.    Masa dewasa, integrasi masyarakat tidak menentu, tidak ada saling mempercayai (trust), kehidupan semu, tidak tulus, ABS, budaya munafik, dll.

         Padahal jelas dikatakan dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
          Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk Sekolah Menengah Pertama Negeri 24 Malang harus diselenggarakan
Penerapan pendidikan karakter siswa secara sistematis dan berkelanjutan sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat.

            Berdasarkan realits yang ada di SMPN 24 Malang, menunjukkab bahwa tiada hari tanpa warna pelanggaran kedisiplinan. Mulai dari terlambat datang ke sekolah, seragam tidak lenggap, tidak mengerjakan tugas, penggunaan bahasa yang kurang baik, kehilangan barang, rusaknya fasilitas sekolah, corat coret dengan kata kata yang kurang pantas, dan lain sebagainya. Kennyataan ini cukup memprihatinkan

            Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

 

 B.   Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang terurai diatas maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut :
1.  Apakah Pengaruh Pendidikan Karakter dalam menciptakan peserta didik yang handal?

2.  Bagaimanakah strategi penerapan Pendidikan Karakter di SMPN 24 Malang ?

3.  Kendala-kendala apakah yang dihadapi dalam menerapkan pendidikan karakter di SMPN 24 Malang ?

C. Tujuan

           1.  Untuk mengetahui Apakah pengaruh Pendidikan Karakter dalam menciptakan peserta  didik yang handal.

2.  Untuk mengetahui  strategi penerapan Pendidikan Karakter di SMPN 24 Malang.

3.  Untuk mengetahui Kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam menerapkan pendidikan karakter di SMPN 24 Malang.

 

 

 

BAB II

LANDASAN TEORI

 

A.    Pengertian Pendidikan Karakter
          Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
           Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
           Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
             Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi
karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
              Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu,
hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
             Pendidikan karakter berpijak dari
karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan
kualitas pendidikan karakter.
            Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya
peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
             Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat.

         Lima pilar karakter luhur bangsa Indonesia: 

1. Transendensi: Menyadari bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang Maha    Esa. Dari kesadaran ini akan memunculkan sikap penghambaan semata-mata pada Tuhan yang Esa. Kesadaran ini juga berarti memahami keberadaan diri dan alam sekitar sehingga mampu menjaga dan memakmurkannya. Ketuhanan yang maha Esa;
2. Humanisasi: Setiap manusia pada hakekatnya setara di mata Tuhan kecuali ilmu dan ketakwaan yang membedakannya. Manusia diciptakan sebagai subjek yang memiliki potensi. Kemanusiaan yang adil dan beradap;
3. Kebinekaan: Kesadaran akan adanya sekian banyak perbedaan di dunia. Akan tetapi, mampu mengambil kesamaan untuk menumbuhkan kekuatan, Persatuan Indonesia;
4. Liberasi: Pembebasan atas penindasan sesama manusia. Karenanya, tidak dibenarkan adanya penjajahan manusia oleh manusia. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;
5. Keadilan: Keadilan merupakan kunci kesejahteraan. Adil tidak berarti sama, tetapi proporsional. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

B.     Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

      Konsep dasar model Manajemen Berbasis Sekolah atau lebih dikenal dengan sebutan MBS, yaitu suatu model manajemen strategi terapan (dalam hal ini manajemen pendidikan) yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif untuk memenuhi kebutuhan mutu pendidikan atau untuk tujuan mutu sekolah sesuai dengan harapan masyarakat pada lingkungan masing-masing sekolah yang bersangkutan.
           Pengalihan kewenangan dan otoritas pengambilan keputusan untuk mengolah sumber daya yang ada di tingkat sekolah seperti keuangan, kurikulum serta profesionalisme guru, yang secara konvensional dilakukan oleh Kepala Sekolah (Syaukani, 2002:54).
          Pemberian otonomi pendidikan yang luas pada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar, disamping menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat juga dapat ditujukan sebagai sarana peningkatan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. (Mulyasa ,2002:13).
          Pengertian mutu pendidikan secara umum adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dan barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan. Sedangkan dalam bidang pendidikan, pengertian mutu mencakup empat aspek, yaitu :
a. Aspek input pendidikan
b. Aspek proses belajar mengajar
c. Aspek output pendidikan
d. Aspek outcome pendidikan
Input pendidikan (masukan) dapat diartikan sesuatu yang harus ada, tersedia dan tercukupi karena dibutuhkan untuk berlangsungnya suatu proses pendidikan. Adapun input pendidikan dapat disebutkan sebagai berikut:

a.       Input sumber daya.

b.      Input harapan-harapan dart perangkat lunak.
Adapun input sumber daya manusia mencakup:

a. Kepala Sekolah, guru dan karyawan.

b. Siswa atau murid.

c. Nara sumber
Input perangkat lunak, meliputi:
a. Peraturan Perundang-undangan
b. Kurikulum
c. Struktur organisasi sekolah
d. Pembagian tugas atau diskripsi tugas
e. Rencana dan Program sekolah.
Sedangkan sumber daya selain manusia dapat disebutkan sebagai berikut :
a. Dana atau keuangan
b. Sarana dan Prasarana sekolah
Sedangkan input yang berupa harapan-harapan yang direncanakan melalui visi, misi, tujuan dan sasaran yang akan dicapai, hal ini merupakan strategi pendidikan yang sangat bagus.

 

Proses pendidikan merupakan usaha untuk merubah sesuatu menjadi sesuatu yang lain, sedang sesuatu dari hasil proses pendidikan disebut out put. Proses manajemen pendidikan meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Proses Pengambilan keputusan
b. Proses pengelolaan kelembagaan
c. Proses pengelolaan program belajar mengajar
d. Proses evaluasi dan monitoring
Output pendidikan adalah prestasi sekolah yang dihasilkan melalui proses/perilaku sekolah. Adapun output pendidikan merupakan kinerja sekolah yang dapat diukur berdasarkan aspek-aspek sebagai berikut:
a. Aspek kualitasnya
b. Aspek efektifitasnya
c. Aspek Produktivitasnya
d. Aspek efisiensinya
e. Aspek inovasi
f. Aspek moral kerja
g. Aspek kualitas kehidupan kerja sekolah
            Peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengolah sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat, penyederhanaan birokrasi, peningkatan mutu diperoleh melalui manajemen sekolah yang terbuka, proses belajar yang efektif tinggi, peran serta masyarakat yang optimal, iklim sekolah yang kondusif, peningkatan kompetensi serta profesional guru.
Education in Indonesia from crisis to recovery, merekomendasikan perlunya diberikan otonomi yang besar kepada sekolah yang disertai manajemen sekolah yang bertanggung jawab (Depdikbud, l998). Otonomi yang lebih besar harus diberikan kepada kepala sekolah sesuai dengan kondisi setempat. Namun demikian, otonomi yang lebih besar harus diikuti dengan pemilihan Kepala Sekolah sesuai dengan kriteria standart kompetensinya, artinya kepala sekolah yang memiliki keterampilan dan karakteristik untuk mengelola sekolah yang bernuansa otonom.
Kepala sekolah yang berprestasi harus diberi penghargaan (reward) dan mengganti mereka yang kurang/tidak berprestasi. Kepala sekolah diberi keterampilan manajemen sekolah, dan training modular serta mengembangkan budaya kerja, budaya malu di kalangan tenaga kependidikan (Mulyasa, 2002:9).
Untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran senantiasa dimutakhirkan, diperbaharui dan dikembangkan digunakan atau diterapkan dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Berbagai falsafah dan metodologi pembelajaran dalam manajemen berbasis sekolah sebetulnya sudah ada sebelumnya.
Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Pembelajaran konstruktivistik
b. Pembelajaran kooperatif
c. Pembelajaran terpadu
d. Pembelajaran aktif
e. Pembelajaran kreatif
f. Pembelajaran efektif
g. Pembelajaran yang menyenangkan (joyful learning)
h. Pembelajaran kontekstual
i. Pembelajaran berbasis Proyek
j. Pembelajaran berbasis masalah (problem solving)

 

BAB III

PEMBAHASAN

A.    Pengaruh Pendidikan Karakter

           Ada pandangan  bahwa keberhasilan proses pendidikan ditentukan oleh seberapa jenius otak setiap anak didik. Semakin ia jenius maka semakin sukses. Semakin ia meraih predikat juara kelas berturut-turut, maka semakin sukseslah ia. Padahal, realitas membuktikan, banyak anak didik yang sukses justru tidak mendapatkan prestasi gemilang di sekolahnya. Sebab kesuksesan tidak hanya terkait dengan kecerdasan otak saja. Akan tetapi, kesuksesan ternyata lebih dominan ditentukan oleh kecakapan membangun hubungan dengan Tuhan, diri sendiri, dan orang lain.Kecakapan membangun hubungan dengan tiga pilar tersebut merupakan karakter-karakter yang dimiliki orang-orang sukses. Hal ini memberikan penyadaran kepada kita akan pentingnya pendidikan karakter sejak dini.

              Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

            Penerapan pendidikan karakter secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas secara emosinya. Kecerdasan emosional ini akan menjadi bekal penting dalam mempersipkan anak menyogsong masa depan, karena seorang anak akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

Faktor pencerdasan emosi seorang anak bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerjasama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati,  dan kemampuan berkomunikasi. Oleh karena itu pemberian pendidikan karakter tidak cukup dengan memberikan pengetahuan semata, melainkan juga menetapkan aturan dan konsekuensi di lingkungan sekolah. Dalam peraturan sekolah misalnya, peserta didik yang tidak membawa buku pelajaran maka konsekuensinya mendapatkan tugas tambahan, serta dikomunikasikan kepada semua pihak termasuk orang tua.

Yang  perlu dipahami proses penanaman karakter terhadap anak didik  membutuhkan keteladan dari semua pihak. Kepala sekolah harus menjadi teladan bagi guru-guru di sekolah. Kepala sekolah tidak Cuma mengumbar kata kata disiplin dalam raapat guru, tetapi ia harus memiliki kedisiplinan yang tinggi. Begitu juga dengan guru-guru jangan hanya menceramahi anak didik agar datang tepat waktu , tetapi gurupun tidak boleh datang terlambat ke kelas. Harus dimaklumi, bukan tidak memiliki orang pintar, justru jumlahnya tak terhitung. Namun bangsa ini tampak kekuarangan orang yang bisa diteladani.

Sekolah yang merupakan salah satu instrumen penanaman nilai nilai kebajikan sudah seharusnya mencerminkan suasana keteladanan. Terutama bagi para guru, hendaknya mereka menjaga sikap dan prilakunya dihadapan anak anak didiknya. Jangan sampai terdengar lagi guru kencing berdiri murid kencing berlari. Oleh karena itu untuk keberhasilan pendidkan karakter perlu dan harus disandingkan pendidikan karakter dan keteladanan (Samani 2011).

             Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembang-kan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.
             Ki Hadjar Dewantara dari Taman Siswa di Yogyakarta bulan Oktober 1949 pernah berkata bahwa "Hidup haruslah diarahkan pada kemajuan, keberadaban, budaya, dan persatuan”. Sedangkan menurut Prof. Wuryadi, manusia pada dasarnya baik secara individu dan kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan ajar. Dasar dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal biologis (genetik) atau hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedangkan ajar adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan atau perubahan yang direncanakan atau diprogram.
               Karakter bangsa terbangun atau tidak sangat tergantung kepada bangsa itu sendiri. Bila bangsa tersebut memberikan perhatian yang cukup untuk membangun karakter maka akan terciptalah bangsa yang berkarakter. Bila sekolah dapat memberikan pembangunan karakter kepada para muridnya, maka akan tercipta pula murid yang berkarakter. Demikian pula sebaliknya. Kita faham Tuhan tidak merubah keadaan suatu kaum biala mereka tidak berusaha melakukan perubahan itu. (innalloha laa yughoyyiru maa biqoumin hattaa yughoyyiruu maa bi anfusihim).
             Dr Ratna Megawangi dalam bukunya, Semua Berakar pada Karakter (2007), mencontohkan, bagaimana kesuksesan Cina dalam menerapkan pendidikan karakter sejak awal tahun 1980-an. Menurut dia, pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.

 

C   Strategi penerapan Pendidikan Karakter di SMPN 24 Malang

         Karakter bangsa terbangun atau tidak sangat tergantung kepada bangsa itu sendiri. Bila bangsa tersebut memberikan perhatian yang cukup untuk membangun karakter maka akan terciptalah bangsa yang berkarakter. Bila sekolah dapat memberikan pembangunan karakter kepada para muridnya, maka akan tercipta pula murid yang berkarakter. Penerapan pendidikan karakter perlu adanya kerjasama di semua lini pemangku pendidikan mulai dari kepala sekolah, guru, karyawan, orang tua murid, pemerintah (Pemkot, DPRD, Diknas), masyarakat sekitar dan lain sebagainya.Terdapat dua strategi ditempuh untuk penerapan pendidikan karakter, yaitu pertama melalui sistem pembelajaran dan tata tertib siswa. Kedua melalui keteladan Pegawai.

          Strategi pertama memiliki dua jalur yaitu sistem pembelajaran pendidikan karakter yang terintegrasi ke semua pelajaran. Hal ini dkarenakan pendidikan ke arah terbentuknya karakter bangsa para siswa merupakan tanggungjawab semua guru. Oleh karena itu, pembinaannya pun harus oleh semua guru. Dengan demikian, kurang tepat jika dikatakan bahwa mendidik para siswa agar memiliki karakter bangsa hanya ditimpahkan pada guru mata pelajaran tertentu, semisal guru PKn atau guru pendidikan agama. Walaupun dapat dipahami bahwa porsi yang dominan untuk mengajarkan pendidikan karakter bangsa adalah para guru yang relevan dengan pendidikan karakter bangsa. Tanpa terkecuali, semua guru harus menjadikan dirinya sebagai sosok teladan yang berwibawa bagi para siswanya. Sebab tidak akan memiliki makna apapun bila seorang guru PKn mengajarkan menyelesaikan suatu masalah yang tidak bertentangan dengan cara demokrasi, sementara guru lain dengan cara otoriter. Atau seorang guru pendidikan agama dalam menjawab pertanyaan para siswanya dengan cara yang nalar yaitu dengan memberikan contoh perilaku para Nabi dan sahabat, sementara guru lain hanya mengatakan asal-asalan dalam menjawab.

           Sesungguhnya setiap guru yang mengajar haruslah sesuai dengan tujuan utuh pendidikan. Tujuan utuh pendidikan jauh lebih luas dari misi pengajaran yang dikemas dalam Kompetensi Dasar (KD). Rumusan tujuan yang berdasarkan pandangan behaviorisme dan menghafal saja sudah tidak dapat dipertahankan lagi Para guru harus dapat membuka diri dalam mengembangkan pendekatan rumusan tujuan, sebab tidak semua kualitas manusia dapat dinyatakan terukur berdasarkan hafalan tertentu. Oleh karena itu, pemaksaan suatu pengembangan tujuan didalam kompetensi dasar tidak dapat dipertahankan lagi bila hanya mengacu pada hafalan semata.
               Hasil belajar atau pengalaman belajar dari sebuah proses pembelajaran dapat berdampak langsung dan tidak langsung. Menurut (Joni, 1996) mengatakan Dampak langsung pengajaran dinamakan dampak instruksional (instrucional effects) sedangkan dampak tidak langsung dari keterlibatan para siswa dalam berbagai kegiatan belajar yang khas yang dirancang oleh guru yang disebut dampak pengiring (nurturant effects)

           Berikut ini penulis berikan sebuah contoh pembelajaran utuh yang disiapkan seorang guru melalui RPP yang berkarakter.
RPP
Mata Pelajaran :IPS  
Tema : Peran Pemuda dalam Kemerdekaan
Anak Tema : Melakukan sesuatu berdasarkan penjelasan yang disampaikan secara lisan
- Mengomentari tokoh-tokoh cerita anak yang disampaikan secara lisan
- Menceritakan pengalaman yang mengesankan dengan menggunakan kalimat yang   runtut dan mudah dipahami
Kelas/Semester : VIII/1
Waktu : 2 X 40 menit
Dampak Instruksional
Melalui pengamatan, tanya jawab, latihan, dan penjelasan guru tentang "membuat surat sederhana kepada seorang teman" para siswa diharapkan dapat:
- Siswa dapat menyebutkan nama dan sifat tokoh dalam cerita .

- Siswa dapat memberikan tanggapan dan alasan tentang tokoh cerita.
- Siswa dapat menceritakan peristiwa alam melalui pengamatan gambar
Dampak Pengiring
Setelah selesai mengikuti pembelajaran ini, siswa diharapkan secara berangsur-angsur dapat mengembangkan karakter
Disiplin ( Discipline )
Tekun ( diligence )
Tanggung jawab ( responsibility )
Ketelitian ( carefulness)
Kerja sama ( Cooperation )
Toleransi ( Tolerance )
Percaya diri ( Confidence )
Keberanian ( Bravery )
Dari contoh di atas dapat disimak bahwa tujuan utuh dari pengalaman belajar harus dapat menampilkan dampak instruksional dan dampak pengiring. Dampak pengiring adalah pendidikan karakter bangsa yang harus dikembangkan, tidak dapat dicapai secara langsung, baru dapat tercapai setelah beberapa kegiatan belajar berlangsung. Dalam penilaian hasil belajar, semua guru akan dan seharusnya mengukur kemampuan siswa dalam semua ranah (Waridjan, 1991). Dengan penilaian seperti itu maka akan tergambar sosok utuh siswa sebenarnya. Artinya, dalam menentukan keberhasilan siswa harus dinilai dari berbagai ranah seperti pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan perilaku (psikomotor). Seorang siswa yang menempuh ujian Matematika secara tertulis, sebenarnya siswa tersebut dinilai kemampuan penalarannya yaitu kemampuan mengerjakan soal-soal Matematika. Juga dinilai kemampuan pendidikan karakter bangsanya yaitu kemampuan melakukan kejujuran dengan tidak menyontek dan bertanya kepada teman dan hal ini disikapi karena perbuatan-perbuatan tersebut tidak baik. Di samping itu, ia dinilai kemampuan gerak-geriknya, yaitu kemampuan mengerjakan soal-soal ujian dengan tulisan yang teratur, rapi, dan mudah dibaca (Waridjan, 1991).
            Selain penilaian dilakukan terhadap semua kemampuan pada saat ujian berlangsung, boleh jadi seorang guru memperhitungkan tindak-tanduk siswanya di luar ujian. Seorang guru mungkin saja tidak akan meluluskan seorang siswa yang mengikuti ujian mata pelajaran tertentu karena perilaku siswa tersebut sehari-harinya adalah kurang sopan, selalu usil, dan suka berbuat keonaran meskipun dalam mengerjakan ujian siswa itu berhasil baik tanpa menyontek dan menuliskan jawaban ujian dengan tulisan yang jelas dan rapi. Oleh karena itu, akan tepat apabila pada setiap mata pelajaran dirumuskan tujuan pengajaran yang mencakupi kemampuan dalam semua ranah. Artinya, pada setiap rencana pembelajaran termuat kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor; dampak instruksional; dan dampak pengiring. Dengan demikian, seorang guru akan menilai kemampuan dalam semua ranah ujian suatu mata pelajaran secara absah, tanpa ragu, dan dapat dipertangungjawabkan.
           Berdasarkan pada pemikiran-pemikiran dan prinsip-prinsip tersebut maka dapat dimengerti bahwa pendidikan karakter bangsa menghendaki keterpaduan dalam pembelajarannya dengan semua mata pelajaran. Pendidikan karakter bangsa diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran, dengan demikian akan menghindarkan adanya "mata pelajaran baru, alat kepentingan politik, dan pelajaran hafalan yang membosankan."
        Untuk menunjang keberhasilan sistem ini maka guru harus mampu mengupdate diri utamanya mengenai model-model pembelajaran inovatif dan terpadu yang mungkin dapat diadaptasi.Menurut Trianto ( 2009), dalam bukunya yang berjudul Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik adalah sebagai berikut.
(1) Fragmentasi
Dalam model ini, suatu disiplin yang berbeda dan terpisah dikembangkan merupakan suatu kawasan dari suatu mata pelajaran
(2) Koneksi
Dalam model ini, dalam setiap topik ke topik, tema ke tema, atau konsep ke konsep isi mata pelajaran dihubungkan secara tegas
(3) Sarang
Dalam model ini, guru mentargetkan variasi keterampilan (sosial, berpikir, dan keterampilan khusus) dari setiap mata pelajaran.
(4) Rangkaian/Urutan
Dalam model ini, topik atau unit pembelajaran disusun dan diurutkan selaras dengan yang lain. Ide yang sama diberikan dalam kegiatan yang sama sambil mengingatkan konsep-konsep yang berbeda.
(5) Patungan
Dalam model ini, perencanaan dan pembelajaran menyatu dalam dua disiplin yang konsep/gagasannya muncul saling mengisi sebagai suatu sistem.
(6) Jala-jala
Dalam model ini, tema/topik yang bercabang ditautkan ke dalam kurikulum. Dengan menggunakan tema itu, pembelajaran mencari konsep/gagasan yang tepat.
(7) Untaian Simpul
Dalam model ini, pendekatan metakurikuler menjalin keterampilan berpikir, sosial, intelegensi, teknik, dan keterampilan belajar melalui variasi disiplin.

(8) Integrasi
Dalam model ini, pendekatan interdisipliner memasangkan antar mata pelajaran untuk saling mengisi dalam topik dan konsep dengan beberapa tim guru dalam model integrasi riil.
(9) Peleburan
Dalam model ini, suatu disiplin menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keahliannya, para pebelajar menjaring semua isi melalui keahlian dan meramu ke dalam pengalamannya.
(10) Jaringan
Dalam model ini, pebelajar menjaring semua pembelajaran melalui pandangan keahliannya dan membuat jaringan hubungan internal mengarah ke jaringan eksternal dari keahliannya yang berkaitan dengan lapangan
            Cara kedua dari strategi pertama adalah dengan menegakkan disiplin dan tata tertib sekolah yang merupakan sarana dan pedoman bagi sekolah untuk menciptakan susana sekolah yang aman dan tertib sehingga akan terhindar dari kejadian-kejadian yang bersifat negatif. Hukuman yang diberikan ternyata tidaklah ampuh untuk menangkal beberapa bentuk pelanggaran, malahan akan bertambah keruh permasalahan.

           Beberapa kejadian yang bersifat negatif harus segera ditanggulangi dan ditangkal. Pihak sekolah tidak boleh berputus asa bila menghadapi peserta didik banyak melanggar disiplin dan tata tertib sekolah. Dr. D.J. Schwart memberikan empat pedoman untuk menanggulangi/menangkal pelanggaran disiplin dan tata tertib sekolah, antara lain sebagai berikut:

·  Pelajari kemunduran untuk menempuh jalan ke arah kebersihan.

·  Jangan sekali-kali menyalahkan nasib buruk.

·  Gabungkan ketekunan dan eksperimen-eksperimen baru.

·  Ingat, bahwa dalam setiap situasi selalu ada segi baik dan positif. Temukan segi positif itu dan buang keputusasaan.

            Keempat pedoman di atas dapat kita pakai untuk menindaklanjuti jika terjadi pelanggaran terhadap disiplin dan tata tertib sekolah. Terdapat jenis-jenis pelanggaran yang sering dilakukan oleh peserta didik, misalnya aksi corat-coret, membawa alat main atau bacaan/gambar porno, merokok atau terlibat narkoba, dan perkelahian antarsekolah atau tawuran. Terhadap beberapa pelanggaran disiplin sekolah dan tata tertib sekolah tersebut perlu dicari jalan keluarnya. Beberapa langkah yang perlu dikembangkan dalam menangkal dan menanggulangi pelanggaran disiplin dan tata sekolah tersebut, antara lain:

Menangkal aksi corat-coret

1.    Menggalakkan pelaksanaan kegiatan 7K.

2.    Sesuaikan tempat duduk peserta didik dengan denah kelas.

3.    Diadakan kebersihan sekolah secara kontinyu dan berkala, misalnya sebulan sekali.

4.    Dilakukan kerja bakti massal setiap akhir semester atau akhir tahun pelajaran.

5.    Dicantumkannya sanksi yang jelas dan mendidik bagi peserta didik yang melakukan corat-coret di dinding dan di meja kelas.

6.    Diberikan tugas oleh guru agar peserta didik membuat karangan bagi mereka yang melakukan corat-coret.

7.    Dilakukan pemeriksaan setiap jam pelajaran untuk menangkal aksi corat-coret.

8.    Memasukkan ketentuan sanksi corat-coret di dalam disiplin dan tata tertib sekolah.

9.    Dilaksanakan lomba kebersihan dan keindahan kelas pada kegiatan class meeting.

Menangkal membawa alat main dan bacaan/gambar porno

1.    Dilakukan razia secara tiba-tiba kepada seluruh peserta didik tanpa diberitahu terlebih dahulu.

2.    Menyita semua barang terlarang yang kedapatan di dalam tas atau tersimpan dalam laci meja peserta didik.

3.    Memperhatikan kondisi dan tingkah laku peserta didik pada saat proses pembelajaran.

4.    Sesekali memberikan pertanyaan kepada peserta didik sehingga tidak membuat kesempatan baginya untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan.

5.    Sesekali guru berpindah posisi dalam mengajar agar perhatiannya menyeluruh kepada peserta didik.

6.    Mencantumkan larangan membawa barang-barang yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran di sekolah.

7.    Guru bimbingan dan konseling dan guru pendidikan agama mengambil peran dan berinisiatif untuk menyadarkan peserta didik agar jangan melakukan hal-hal yang terlarang.

Menangkal membawa rokok atau narkoba

1.    Dilakukan penggeledahan isi tas peserta didik.

2.    Melakukan pengawasan secara khusus kepada peserta didik yang patut dicurigai membawa rokok atau narkoba.

3.    Melakukan kerja sama dengan pihak lain di luar sekolah, misalnya warga masyarakat, pemerintah setempat, dan aparat kepolisian.

4.    Memberikan laporan secepatnya kepada orang tua peserta didik bila terjadi tanda-tanda peserta didik melakukan penyimpangan dari tata tertib sekolah yang berhubungan dengan merokok atau mengonsumsi narkoba.

5.    Diadakan ceramah atau penyuluhan tentang bahaya merokok atau mengonsumsi narkoba oleh pihak-pihak yang berkompeten dan relevan, misalnya dari seorang dokter, psikiater, dan kepolisian, serta para alim ulama.

6.    Perlunya memberikan penekanan pada masalah keduanya dikaitkan dengan pelajaran agama (imtaq) dan budi pekerti oleh guru yang berkompeten.

7.    Orang tua peserta didik diminta mengisi surat pernyataan bahwa bila ternyata anaknya terlibat dalam pelanggaran merokok dan narkoba tadi dapat dikeluarkan dari sekolah.

Menangkal perkelahian antarsekolah/tawuran antar pelajar

1.    Sekolah menyediakan media penyaluran bakat, minat, dan kelebihan potensi peserta didik. Karena peserta didik mempunyai potensi atau kelebihan energi dan memerlukan penyaluran, maka kebutuhan bidang-bidang olahraga, seni, dan kreativitas umum perlu diciptakan.

2.    Di sekolah perlu dibentuk tim-tim olahraga dan seni maupun kegiatan ekstrakurikuler yang lain. Beberapa bidang yang dapat digunakan untuk penyaluran bakat/minat itu misalnya pramuka, karang taruna, cinta alam, dan PMR.

3.    Sekolah membuat program-program yang memberikan peluang kepada peserta didik untuk menuangkan prestasi dan kreasi. Majalah dinding, majalah sekolah, lomba sepak bola, voli, tenis meja, bola basket diatur sedemikian rupa sehingga para peserta didik merasa memperoleh penyaluran kelebihan tenaga mereka. Bidang seni teater dan musik digalakkan agar peserta didik mendapat tempat untuk bereksistensi sesuai dengan jiwa muda mereka.

4.    Pihak antarsekolah yang berdekatan sebaiknya membentuk ikatan atau persatuan pengurus OSIS. Dari banyak pengurus OSIS di sekolah itu kemudian dibentuk sebuah ikatan kepengurusan pada tingkat kota/kabupaten. Tugasnya agar saling menciptakan iklim ketentraman bersama, menjalin kerukunan antarsekolah sekaligus menjadi penengah bila terjadi perkelahian antarsekolah.

5.    Dilakukan suatu kegiatan program bersama. Misalnya digelar sebuah pentas teater yang diperankan oleh tiap-tiap sekolah.

6.    Mengadakan kegiatan secara terpadu dalam rangka memperingati hari-hari besar, misalnya hari bebas rokok dan diadakan dialog antar pelajar yang mewakili tiap-tiap sekolah.

    Strategi kedua adalah keteladan dari seluruh pegawai yang ada dilingkungan SMPN 24 Malang. Strategi ini dirasa sangat ampuh, karena anak yang berkarakter kurang baik bukanya tidak mengetahui itu adalah hal yang tidak baik akan tetapi miskinnya keteladanan dari dari pegawai yang ada. Keteladanan dimulai dari anak datang ke sekolah sudah disambut senyum dan uluran tangan dari bapak ibu guru, penggunaan pengajaran dan peneyelesaian masalah yang mendidik dan santun, penanaman mental bekerja keras melalui model penilaian yang seimbang antara usaha dan hasil. Pelayanan yang baik dari para pegawai TU, budaya bersih, hijau, sehat di lingkungan sekolah termasuk kebersihan makanan di kantin sekolah.

           Dengan menyandingkan antara teori dan praktek akan sangat efektif untuk menciptakan seorang anak akan menjadi cerdas secara emosinya, ini akan menjadi bekal penting dalam mempersipkan anak menyogsong masa depan, karena seorang anak akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

             Faktor pencerdasan emosi seorang anak bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerjasama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati,  dan kemampuan berkomunikasi. Oleh karena itu pemberian pendidikan karakter tidak cukup dengan memberikan pengetahuan semata, melainkan juga menetapkan aturan dan konsekuensi di lingkungan sekolah. Dalam peraturan sekolah misalnya, peserta didik yang tidak membawa buku pelajaran maka konsekuensinya mendapatkan tugas tambahan, serta dikomunikasikan kepada semua pihak termasuk orang tua.

          Yang  perlu dipahami proses penanaman karakter terhadap anak didik  membutuhkan keteladan dari semua pihak. Kepala sekolah harus menjadi teladan bagi guru-guru di sekolah. Kepala sekolah tidak Cuma mengumbar kata kata disiplin dalam raapat guru, tetapi ia harus memiliki kedisiplinan yang tinggi. Begitu juga dengan guru-guru jangan hanya menceramahi anak didik agar datang tepat waktu , tetapi gurupun tidak boleh datang terlambat ke kelas. Harus dimaklumi, bukan tidak memiliki orang pintar, justru jumlahnya tak terhitung. Namun bangsa ini tampak kekuarangan orang yang bisa diteladani.

      Sekolah yang merupakan salah satu instrumen penanaman nilai nilai kebajikan sudah seharusnya mencerminkan suasana keteladanan. Terutama bagi para guru, hendaknya mereka menjaga sikap dan prilakunya dihadapan anak anak didiknya. Jangan sampai terdengar lagi guru kencing berdiri murid kencing berlari. Oleh karena itu untuk keberhasilan pendidkan karakter perlu dan harus disandingkan pendidikan karakter dan keteladanan

D  Kendala-kendala  yang dihadapi dalam menerapkan pendidikan karakter di SMPN 24 Malang.

             Maksud yang baik belum tentu disambut dengan baik oleh guru, karyawan, orang tua dan instansi terkait, hal ini juga dialami di SMPN 24 Malang. Antara lain;

1.    Faktor Intern;

Kalangan guru dan karyawan pertama, mereka sepakat untuk memajukan lembaga dengan aturan yang ada, namun semangat memberi contoh/keteladanan kepada siswa perlu ditingkatkan. Guru dan karyawan sepakat anak harus disiplin dalam segala hal akan tetapi ini hanya sebatas tuntutan kepada siswa belum pada diri sendiri terbukti sering kali datang terlambat masuk kelas, terlambat datang ke kantor, baju tidak sesuai aturan, sikap dan perilaku yang tidak mencerminkan keteladanan.

Kalangan guru dan karyawan kedua, mereka kurang sepakat memajukan lembaga dengan aturan yang dan juga dalam keteladanan.

2.      Ekstern

a.    Orang tua sering kali kurang perhatian kepada program sekolah dan perkembangan sikap dan perilaku anak. Orang tua sering kalim menvonis sekolah salah ketika anaknya terkana kasus akademik dan non akademik.

 

b.    Instansi terkait

Jika kita mengacu pada konsep menejemen berbasis sekolah (MBS) yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif untuk memenuhi kebutuhan mutu pendidikan atau untuk tujuan mutu sekolah sesuai dengan harapan masyarakat pada lingkungan masing-masing sekolah yang bersangkutan.Seperti kewenangan dan otoritas pengambilan keputusan untuk mengolah sumber daya yang ada di tingkat sekolah seperti keuangan, kurikulum serta profesionalisme guru, yang secara konvensional dilakukan oleh Kepala Sekolah . Namun sering kita menemui fakta ada kekuatan lain yang memperlemah untuk mengejawantahkan konsep MBS seperti ketika kegiatan PSB/PPDP, Kenaikan kelas, pengembangan sarana sekolah yang bermutu.

 

 

BAB IV

PENUTUP

A.       Kesimpulan

1.    Katidakpuasan masyarakat terhadap fenomena dunia pendidikan sejak zaman orde baru dan keprihatinan yang mendalam akan kemrosotan karakter bangsa diberbagai lini kehidupan di masa reformasi telah memberikan penyadaran pada kita akan perlu dan segera diterapkan pendidikan karakter untuk membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Dan segera terlahir generasi muda yang pintar – baik – benar.

2.    Penerapan pendidikan karakter dapat menggunakan dua strategi yaitu;

a.     Sistem pembelajaran terintegrasi(terpadu) dan penegakan disiplin dan tata tertib sekolah

b.   Keteladanan dari semua lini yang ada di sekolah

3.    Kendala yang dihadapi

a.    Internal; antara lain dari guru dan karyawan

b.   Eksternal antara lain orang tua murid dan intansi terkait dengan pendidikan.



 

 DAFTAR RUJUKAN

Depdiknas, 2003, Undang-undang No. 20 tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, www.depdiknas.go.id
http://elementary-education-schools.blogspot.com/2011/08/all-about-elementary-education-in.html

Muchlas Samani dan hariyanto.Konsep dan Model Pendidikan karakter.2011.Bandung: Remaja Rosdakarya.

REPUBLIKA, Senin, 14 Juni 2010

Megawangi. 2007.Semua Berakar pada Karakter .Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI

Joni, T. Raka. 1996. Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Dirjen Dikti Bagian Proyek PPGSD.
Waridjan. 1991. Tes Hasil Belajar Gaya Objektif. Semarang: IKIP Semarang Press.

Trianto, 2009, Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher.

Komentar